Saya tahu topik yang satu ini sudah hackneyed, tapi entah kenapa selalu saja ada kisah nyata yang menginspirasi saya untuk menulis sesuatu tentangnya. Kali ini tentang seseorang yang saya kenal sendiri, dan saya tahu dia baru saja berlibur bersama pacarnya. Yang saya dengar-dengar, dia sudah akan bertunangan dan tentunya akan segera menikah. Tapi apa yang saya dengar dari dia sendiri pada suatu hari sungguh sangat berbeda:
“Kami baru saja berpisah,” katanya, tanpa bisa menyembunyikan nada getirnya. “Dia mengirimku sebuah e-mail yang intinya dia sudah tidak bisa lagi bersamaku”.
“Oh, . . . . kok bisa begitu? Apa kalian bertengkar?“
“Tiga tahun sudah kami bersama-sama, dan tidak kusangka kemarin semuanya berakhir begitu saja.”
Saya hanya menghela napas, tidak tahu apa yang harus saya katakan. Rupanya dia sedang terbawa perasaannya sehingga pertanyaan saya tadi diacuhkannya begitu saja.
“Tapi sebelumnya hubungan kalian baik-baik saja, kan?” saya bertanya.
“Yah, . . . gimana ya?” dia ragu-ragu, suaranya mendadak tercekat. “Aku tidak bisa mengatakannya mulus. Awal-awal hubungan kami sungguh sangat berat. Keluarganya tidak menyukai aku . . . ”
Saya terpana. Pertanyaan “lho kenapa?” hanya mandek di ujung lidah dan saya tidak tega untuk mengujarkannya.
“Dan aku praktis berjuang sendirian menghadapi perlakuan mereka,” dia melanjutkan. “Sungguh berat dibegitukan. Tapi aku terus mempertahankan hubungan itu, percaya bahwa suatu ketika entah aku akan terbiasa dengan perlakuan seperti itu, atau mereka akan merubah sikapnya setelah mengenalku lebih lama lagi.”
“Mm-mm,”
Sepi sejenak. “Lantas, apa yang membuatnya memutuskan hubungan?” saya bertanya, setengahnya ingin memecah keheningan, tapi setengahnya juga kepingin tahu mengapa.
“Aku tidak menuntut banyak” dia melanjutkan, lagi-lagi mengacuhkan pertanyaan saya. “Aku tidak cerewet minta ini itu, sekalipun aku sebenarnya mengharapkan hubungan yang lebih serius ke arah pernikahan mengingat usiaku juga sudah 26; aku diam saja menghadapi pahit manisnya hubungan kami, bahkan juga cibiran dan omongan tidak enak dari sanak saudaranya. Aku hanya ingin memantapkan hubungan itu, . . .tapi . . . hanya satu yang aku tidak bisa terima. . . “
Saya memandangnya dengan wajah bertanya.
“Aku tidak bisa menerima kehadiran wanita lain dalam hidupnya,” dia berkata. “Semua aku tahan, nyaris sendirian, semua bisa aku hadapi dan aku terima, walaupun sakit, kecuali yang satu itu: wanita lain!”
Kali ini dia melengos. Saya langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Sungguh tidak nyaman melihat matanya yang mulai berkaca-kaca . . .
Sepi lagi. Saya menarik napas panjang. Apa lagi yang harus ditanyakan? Semua sudah jelas. Wanita sederhana yang susah payah merajut cintanya dengan seorang pria, hanya untuk mendapatkan rajutannya ambyar terburai begitu saja ketika si pria terpaksa berpaling ke wanita lain. Kisah klasik, sudah ribuan, bahkan mungkin terjadi jutaan kali di dunia ini, tapi kenapa ya begitu mendengarnya langsung dari seorang wanita yang saya kenal baik saya bisa merasa benar-benar tersentuh?
“Terima kasih, ya, sudah mau mendengarkan masalahku.”
Kali ini saya yang diam tidak menjawab. . . .
Sehari setelah itu, saya mengira akan melihatnya dalam keadaan murung atau bahkan dengan mata sembab. Ya, seandainya saya jadi seorang wanita seperti dia, pasti saya akan benar-benar patah. Bayangkan sakitnya! Sudah beberapa tahun menjalin hubungan kasih dengan seorang pria, disiriki keluarganya, mencoba bertahan, tapi mendadak dikirimi e-mail perpisahan! Mungkin saya akan menangis seharian di kamar kos, peduli amat dengan tugas dan pekerjaan segala macam. Akan saya katakan kepada dunia, “Hey, I’m brokenhearted! I was just dumped by my boyfriend. I need some time to regain my composure. Please have a little sympathy!”
Tapi dugaan saya salah. Dia masuk kerja, bahkan masuk ke kelas seperti biasa, sekalipun agak terlambat. Setengah ternganga saya memandangnya dari depan kelas: berjaket, mukanya agak pucat, tapi tetap tekun menyimak materi yang saya berikan hari itu di kelas, bahkan masih aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan saya tentang topik di hari itu.
Di tengah-tengah kuliah, tiba-tiba saya lihat dia merebahkan kepalanya di atas meja seolah kelelahan. Saya tidak tahan untuk tidak mendekat.
“Kamu baik-baik saja?” tanya saya, agak cemas melihat badannya seperti menggigil.
“Oh, iya, aku baik-baik kok,” katanya, mencoba merapatkan lagi jaket putihnya ke tubuhnya. “Hanya agak demam. Eh, tugasnya apa tadi? Pe-ernya buat aku yang bagian mana?”
“Wah, wah, wah, kamu yakin kamu baik-baik saja, setelah . . . semua yang kamu ceritakan kemarin itu?” saya tidak bisa menyembunyikan heran dan setengahnya kagum.
Dia berdecak. “Yah, itu pasti berat. Tapi hidup kan terus berjalan. Cukuplah sudah aku bersedih, sekarang aku hanya mau fokus pada kerja dan tidak mau larut memikirkan pria yang memang belum siap untuk berkomitmen.”
Lugas. Tanpa rengekan berlebihan. Saya salut sama ketegarannya. Ketika bertemu lagi sore harinya, makin terlihat dia sudah pulih. Kami berbicara tentang kuliah saya dan urusan akademik bla bla bla sejenisnya, sebelum akhirnya saya tidak tahan untuk tidak mengorek rahasia ketegarannya:
“ Sebenarnya tujuan hidup kamu apa, sih?” tanya saya.
“Sederhana saja,” jawabnya. “Aku hanya ingin punya suami yang baik, kemudian membangun keluarga yang bahagia, punya dua anak kecil yang lucu yang bisa menemani hidupku sampai tua nanti”.
“Aduh, so simple but sweet!” batin saya dalam hati. “Kamu . . . yakin bisa mencapainya?”
“Hmmh,” sejenak matanya menerawang, kemudian tatapannya berubah mantap. “Yes, . . . because I have faith”.
Sepenggal senyumnya mengakhiri dialog kami di senja yang
2 a.m. and the rain is falling
Here we are at the crossroads once again
You’re telling me you’re so confused
You can’t make up your mind
Is this meant to be
You’re asking me
But only love can say – try again or walk away
But I believe for you and me
The sun will shine one day
So I’ll just play my part
And pray you’ll have a change of heart
But I can’t make you see it through
That’s something only love can do
In your arms as the dawn is breaking
Face to face and a thousand miles apart
I’ve tried my best to make you see
There’s hope beyond the pain
If we give enough, if we learn to trust
I know if I could find the words
To touch you deep inside
You’d give our dream just one more chance
Don’t let this be our last good-bye
Dalam hidup ini, banyak kali kita merasa dikecewakan, depressi, dan sakit hati.
Sesungguhnya tak perlu menghabiskan waktu memikirkan hal-hal tersebut.
Hidup ini penuh dengan keindahan, kesukacitaan dan pengharapan.
Mengapa harus menghabiskan waktu memikirkan sisi yang buruk,
mengecewakan dan menyakitkan jika kita bisa menemukan banyak hal-hal
yang indah di sekeliling kita?
Kita akan menjadi orang yang berbahagia
jika kita mampu melihat dan bersyukur untuk hal-hal yang baik
dan mencoba melupakan yang buruk.
Cinta tak pernah memandang kekurangan
orang yang kita sayangi dan kita cintai.
Cinta hanya akan membawa kebahagian
dan saling berbagi untuk memahami kekurangan masing-masing.
mencintai dengan apa adanya.
Cinta tak pernah menyakiti,
yang sebenarnya adalah menambah kedewasaan
dan cara berpikir kita untuk memandang hidup,
sebagai kasih karunia Tuhan yang terbaik.
Cintailah semua makhluk dengan harapan semua berbahagia
Posted on August 6, 2010 by machungaiwo 2
0 komentar:
Posting Komentar