Jum'at 10 Jun 2011 05:29 AM budaya tragik, politik tragik, ekonomi tragik, bahkan Indonesia yang tragik. Sebagai contoh kasus, kita terus berlomba dengan Negeria dan Banglades sebagai negara terkorup di dunia. Juga, kita adalah negara dengan jumlah pengungsi terbesar, entah akibat dari bencana alam, konflik etnis, pertentangan agama, dan adanya kantung-kantung pengungsi yang berasal dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dalam Indonesia yang tragik, seluruh aspek kebersamaan dan berkorban demi sesama pada tataran politik, ... negara terkorup di dunia. Juga, kita adalah negara dengan jumlah pengungsi terbesar, entah akibat dari bencana alam, konflik etnis, pertentangan agama, dan adanya kantung-kantung pengungsi yang berasal dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dalam Indonesia yang tragik, seluruh aspek kebersamaan dan berkorban demi sesama pada tataran politik, ekonomi, budaya termasuk agama, mengalami proses minimalis yang terus menukik menuju nihilisme. Betapa ironisnya, suatu bangsa besar yang dibangun atas sema ...
Menurut Moh Sholeh (2003) ketika pikiran dan kesadaran seseorang dipenuhi dan dirasuki dorongan untuk mengeksploitasi sumber-sumber penopang keseimbangan dan harmoni semesta, baik sumber daya ekologis berupa kekayaan alam, lebih-lebih sumber etis, moral dan spiritual, yang merupakan penyangga utama keluhuran manusia, dan terus-menerus mengumbar angkara murka, pengharapan kita akan hadirnya sifat-sifat terpuji dari akal budi yang luhur, berkorban demi kepentingan bersama, mementingkan orang lain, bagai pungguk merindukan bulan. Alih-alih berkorban demi kepentingan bersama, malahan beragam keserakahan akan mendorongnya untuk menatap nanar milik orang lain dan menunggu kelengahannya. Modus vivendi-nya bisa melalui tipu muslihat yang halus ataupun dengan cara-cara paksaan dan kekerasan, mulai dengan gendam, hipnotis, mencopet, menodong, merampas, dan merampok dengan mengancam nyawa pemiliknya. Dalam masyarakat tragik, memang kita seperti iklan cola-cola, always dicekam oleh kepungan ketakutan. Rasa aman menjadi suatu yang mahal. Nihilnya freedom from fear, kata Fromm. Padahal mestinya freedom from fear ditularkan secara massal. Entri point ke arahnya adalah dengan membangun dan membangkitkan sifat dan sikap berkorban, mementingkan orang lain, menolong yang membutuhkan, memberi yang meminta, melindungi dan memberi rasa aman bagi yang lemah, dan membebaskan pikiran dari ketakutan dan bayangan-bayangan ancaman. Jiwa rakus hanya akan melahirkan individu-individu tragik, individu yang lahir akibat hilangnya toleransi. Toleransi hilang misalnya karena kegagalan ...(http://wordpress.com)
0 komentar:
Posting Komentar